Makalah Maqasid Syari'ah
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam
diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang
diperuntukkan untuk manusia, yaitu berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan
secara fungsional dan dalam makna yang kontrek yang ditujuan untuk mengarahkan
kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolekti kemasyarakatan
(sosial).
Pembicaraan
tentang tujuan pembinaan hukum islam atau maqasid syari’ah merupakan pembahasan
penting dalam hukum islam yang tidak luput dari perhatian ulama’ serta pakar
hukum islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu
pula perintah dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan
terlihat bahwa semuanya mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia.
Semuanya mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa
pengertian dan dasar maqasid syari’ah itu?
b.
Apa
tujuan dari maqasid syari’ah?
c.
Apa
saja Pembagian maqasid syari’ah?
MAQASID SYARI’AH
A.
Pengetian dan Dasarnya
Secara
bahasa, maqasid syari’ah berasal dari dua kata, yaitu maqasid dan
syari’ah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsud yang
berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syari’ah secara bahasa
artinya jalan menuju sumber air, yang juga bisa diartikan jalan menuju sumber
kehidupan. Dengan demikian maqasid syari’ah secara etimologis adalah
tujuan menetapkan syari’ah. Pengertian ini dilandasiasumsi bahwa penetapan syari’ah
memiliki tujuan tertentu oleh pembuatnya (syari’). Tujuan penetapan itu
dinyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak ada
hukum yang ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadis melainkan di dalamnya
terdapat kemaslahatan.[1]
Penekanan maqasid syari’ah bertiti tolak dari kandungan
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa hukum-hukum Allah mengandung
kemaslahatan. Diantaranya adalah:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”(QS. Al-Anbiya’ : 107).
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”(QS.
Az-Zariyat :56).
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
“Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”(QS. Al-Ankabut :45).
Gagasan maqasid
syari’ah pertama kali dikemukakan oleh imam Al-Juwaini (al-Haramain) yang
kemudian dikembangkan oleh Al-Ghazali dalam kitab fiqhnya, al-Mustasyffa.
Namaun konsep maqasid syari’ah dikembangkan secara komprehensif oleh
Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Usul AS-Syari’ah. Konsep ini juga
menjadi bagian kajian dari filsafat hukum islam.[2]
B.
Tujuan Maqasid Syari’ah
Tujuan hukum harus ditemukan untuk
mengetahui apakah suatu kasus masih relevan ditetapkan dengan ketentuan hukum
yang sudah ada ketika terjadi perubahan struktur sosial. Konsep maqasid
syari’ah bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan sebagai unsur pokok tujuan
hukum. Menurut Imam Asy-Ayatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu
sebagai berikut :[3]
1. Tujuan awal dari Syari’
menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
2. Penetapan syariah sebagai
sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai
hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4. Penetapan syariah guna
membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Para ulama’ sepakat bahwa bahwa
memang hukum syara’ mengandung kemaslahatan untuk umat manusia. Namun ulama’
berbeda pendapat dalam menetapkan kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan
hukum syara’. Apakah untuk kemaslahatan itu Allah menetapkan hukum? Atau dengan
bahasa lain: Apakah kemaslahatan itu yang mendorong Allah untuk menetapkan
hukum? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Ulama yang berpendapat pada prinsip
bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut
oleh ulama kalam Asy’ariyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan
keinginan-Nya sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 107 yang artinya :
“sesungguhnya Tuhanmu Maha Perkasa terhadap apa saja yang Dia kehendaki”.
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk
kemaslahatan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum
syara’ itu bukan untuk kemaslahatan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak
luput dari kemaslahatan umat.
Ulama yang berpendapat pada perinsip
keadilan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya (yang dianut oleh ulama’ kalam
al-Mu’tazilah); berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah
menetapkan hukumsyara’.
Sebenarnya kalau kita perhatikan
pendapat pendapat di atas dalam hal menetapan hukum syara’ tersebut, akan
terlihat bahwa perbedaan hanya semata-mata perbedaan secara lafzi dan
tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu sendiri
kerena semua pihak sepakat bahwa semua hukum ditetapkan Allah ada tujuanya dan
tujuan itu adalah bagi kemaslahatan umat.[4]
C.
Pembagian Maqasid Syari’ah
Hakikat dari maqasid adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif
dapat berupa dua bentuk, yaitu kemaslahatan hakiki dan majazi. Kemaslahatan
kakiki yaitu kemaslahatan langsung dalam arti kuasalitas, sedangkan majazi
adalah bentuk kemaslahatan yang merupakan sebab yang membawa kepada
kemaslahatan.
Tujuan konsep maqasid syari’ah adalah untuk menjamin, memberikan
perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya
umat islam. Aspek yang dilindungi meliputi tiga hal: daruriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat.
1. Maslahah Daruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga
kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka
keselamatan umat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah
syari’at Islam diturunkan.
a) Memelihara Agama
Agama adalah kebutuhan mutlak bagi manusia, sehingga mendapatkan
priolitas utama untuk dijaga kelestarian dan keselamatannya. Caranya adalah
dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan dilandasi aqidah yang
lurus, ibadah yang tulus, dan berprilaku yang mulia.[5]
b) Memelihara Jiwa
Keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan,
manusia harus melakukan banyak hal, seberti makan, minum, menutup badan, dan
mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu
yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala sesuatu yang dapat
menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk dan itu dilarang Allah.
c) Memelihara Akal
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi
manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk untuk menjaga keberadaannya
dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala sesuatu untuk
itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh
untuk menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau
tempat,[6]
sebagai mana sabda Nabi yang sangat populer “Tuntutlah ilmu sampai kenegeri
Cina”
d) Memelihara Harta
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu
diperlukan harta dan manusia harus berupanya mendapatkannya secara halal dan
baik. Pencarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang disuruh
oleh Allah.[7]
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah : 168
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu”.
e) Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan termasuk bagian dari kebutuhan primer.
Keturunan inilah yang akan melanjutkan generasi manusia di muka bumi. Oleh
karena itu islam mengatur masalah pernikahan dengan berbagai persyaratan
didalamnya. Islam melarang berzina karena dianggap mengotori kemuliaan manusia.
Dari sinilah bisa dipahami mengapa pernikahan itu diperintahkan sedangkan
perzinaan itu dilarang dalam islam.[8]
Sebagaimana firman Allah surat al-Isra’ : 32
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk”.
2. Maslahah Hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai
kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia
tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah
(kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebernya tidak ada
rukhsah pun tidak akan mehilangkan salah satu dari Daruriyat itu,
tetapi manusia akan berada dalam kesulitan. Memudahan ini, berlaku pada musafir
pembolehan tidak berpuasa, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang
membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang
yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
3. Maslahah Tahsiniyat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu
dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak
terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti
dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut
adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang
kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah
mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh
anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah,
larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
KESIMPULAN
Maqasid
Syari’ah secara etimologis adalah tujuan
menetapkan syari’ah. Pengertian ini dilandasiasumsi bahwa penetapan syari’ah
memiliki tujuan tertentu oleh pembuatnya (syari’). Tujuan penetapan itu
dinyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak ada
hukum yang ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadis melainkan di dalamnya
terdapat kemaslahatan.
Hakikat
dari maqasid adalah kemaslahatan. Tujuan konsep maqasid syari’ah adalah
untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi
manusia secara umum, khususnya umat islam. Aspek yang dilindungi meliputi tiga
hal: daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Menurut Al Syatibi ada lima
hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syari’at Islam
diturunkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin,
Ali. 2012. fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia.
Yogjakarta: Berada Publishing.
Syarifuddin,
Amir. 2011. Usul Fiqh Jilid II jakarta: kencana
[1]
Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di
indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 163
[2]
Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di
indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 166
[3]Ali
sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di
indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 167
[4]
Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 220
[5]
Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di
indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 170
[6]
Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 224
[7]
Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 225
[8]
Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di
indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 174