Sabtu, 10 Januari 2015

Makalah Maqasid Syari'ah


Makalah Maqasid Syari'ah

PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang diperuntukkan untuk manusia, yaitu berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kontrek yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolekti kemasyarakatan (sosial).
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum islam atau maqasid syari’ah merupakan pembahasan penting dalam hukum islam yang tidak luput dari perhatian ulama’ serta pakar hukum islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula perintah dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dan dasar maqasid syari’ah itu?
b.      Apa tujuan dari maqasid syari’ah?
c.       Apa saja Pembagian maqasid syari’ah?






MAQASID SYARI’AH
A.    Pengetian dan Dasarnya
Secara bahasa, maqasid syari’ah berasal dari dua kata, yaitu maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syari’ah secara bahasa artinya jalan menuju sumber air, yang juga bisa diartikan jalan menuju sumber kehidupan. Dengan demikian maqasid syari’ah secara etimologis adalah tujuan menetapkan syari’ah. Pengertian ini dilandasiasumsi bahwa penetapan syari’ah memiliki tujuan tertentu oleh pembuatnya (syari’). Tujuan penetapan itu dinyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak ada hukum yang ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadis melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.[1]
Penekanan  maqasid syari’ah bertiti tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan. Diantaranya adalah:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ    
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS. Al-Anbiya’ : 107).
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”(QS. Az-Zariyat :56).
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Al-Ankabut :45).
Gagasan maqasid syari’ah pertama kali dikemukakan oleh imam Al-Juwaini (al-Haramain) yang kemudian dikembangkan oleh Al-Ghazali dalam kitab fiqhnya, al-Mustasyffa. Namaun konsep maqasid syari’ah dikembangkan secara komprehensif oleh Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Usul AS-Syari’ah. Konsep ini juga menjadi bagian kajian dari filsafat hukum islam.[2]
B.     Tujuan Maqasid Syari’ah
Tujuan hukum harus ditemukan untuk mengetahui apakah suatu kasus masih relevan ditetapkan dengan ketentuan hukum yang sudah ada ketika terjadi perubahan struktur sosial. Konsep maqasid syari’ah bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan sebagai unsur pokok tujuan hukum. Menurut Imam Asy-Ayatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu sebagai berikut :[3]
1.      Tujuan awal dari Syari’ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
2.      Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3.      Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4.      Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Para ulama’ sepakat bahwa bahwa memang hukum syara’ mengandung kemaslahatan untuk umat manusia. Namun ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan hukum syara’. Apakah untuk kemaslahatan itu Allah menetapkan hukum? Atau dengan bahasa lain: Apakah kemaslahatan itu yang mendorong Allah untuk menetapkan hukum?  Dalam hal ini ada dua pendapat:
Ulama yang berpendapat pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy’ariyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 107 yang artinya : “sesungguhnya Tuhanmu Maha Perkasa terhadap apa saja yang Dia kehendaki”.
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk kemaslahatan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum syara’ itu bukan untuk kemaslahatan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan umat.
Ulama yang berpendapat pada perinsip keadilan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya (yang dianut oleh ulama’ kalam al-Mu’tazilah); berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah menetapkan hukumsyara’.
Sebenarnya kalau kita perhatikan pendapat pendapat di atas dalam hal menetapan hukum syara’ tersebut, akan terlihat bahwa perbedaan hanya semata-mata perbedaan secara lafzi dan tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu sendiri kerena semua pihak sepakat bahwa semua hukum ditetapkan Allah ada tujuanya dan tujuan itu adalah bagi kemaslahatan umat.[4]
C.    Pembagian Maqasid Syari’ah
Hakikat dari maqasid adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif dapat berupa dua bentuk, yaitu kemaslahatan hakiki dan majazi. Kemaslahatan kakiki yaitu kemaslahatan langsung dalam arti kuasalitas, sedangkan majazi adalah bentuk kemaslahatan yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan.
Tujuan konsep maqasid syari’ah adalah untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya umat islam. Aspek yang dilindungi meliputi tiga hal: daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
1.      Maslahah Daruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syari’at Islam diturunkan.  
a)      Memelihara Agama
Agama adalah kebutuhan mutlak bagi manusia, sehingga mendapatkan priolitas utama untuk dijaga kelestarian dan keselamatannya. Caranya adalah dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan dilandasi aqidah yang lurus, ibadah yang tulus, dan berprilaku yang mulia.[5]
b)      Memelihara Jiwa
Keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seberti makan, minum, menutup badan, dan mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk dan itu dilarang Allah.
c)      Memelihara Akal
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala sesuatu untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh untuk menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat,[6] sebagai mana sabda Nabi yang sangat populer “Tuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina”
d)     Memelihara Harta
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupanya mendapatkannya secara halal dan baik. Pencarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang disuruh oleh Allah.[7] Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah : 168
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
e)      Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan termasuk bagian dari kebutuhan primer. Keturunan inilah yang akan melanjutkan generasi manusia di muka bumi. Oleh karena itu islam mengatur masalah pernikahan dengan berbagai persyaratan didalamnya. Islam melarang berzina karena dianggap mengotori kemuliaan manusia. Dari sinilah bisa dipahami mengapa pernikahan itu diperintahkan sedangkan perzinaan itu dilarang dalam islam.[8] Sebagaimana firman Allah surat al-Isra’ : 32
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.

2.      Maslahah Hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebernya tidak ada rukhsah pun tidak akan mehilangkan salah satu dari Daruriyat itu, tetapi manusia akan berada dalam kesulitan. Memudahan ini, berlaku pada musafir pembolehan tidak berpuasa, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
3.      Maslahah Tahsiniyat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.


KESIMPULAN
Maqasid Syari’ah secara etimologis adalah tujuan menetapkan syari’ah. Pengertian ini dilandasiasumsi bahwa penetapan syari’ah memiliki tujuan tertentu oleh pembuatnya (syari’). Tujuan penetapan itu dinyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak ada hukum yang ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadis melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.
Hakikat dari maqasid adalah kemaslahatan. Tujuan konsep maqasid syari’ah adalah untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya umat islam. Aspek yang dilindungi meliputi tiga hal: daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syari’at Islam diturunkan. 









DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012. fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia. Yogjakarta: Berada Publishing.
Syarifuddin, Amir. 2011. Usul Fiqh Jilid II  jakarta: kencana



[1] Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 163
[2] Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 166
[3]Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 167
[4] Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 220
[5] Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 170
[6] Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 224
[7] Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), hlm 225
[8] Ali sodiqin, fiqh usul fiqh: sejarah, metodologi dan implementasinya di indonesia (yogjakarta: berada publishing, 2012), hlm 174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar