K.H. SAHAL MAHFUDZ DAN PEMIKIRANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam memiliki dua dasar hukum yang sangat penting
yaitu al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi dua dasar hukum tersebut perlu adanya
penafsiran dan pemahaman lagi untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Dasar hukum yang ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits adalah Fiqh. Fiqh
merupakan derivasi pratikal dari ajaran al-Qur’an dan Hadits, adalah landasan
normatif dalam berprilaku, baik individu maupun masyarakat.
K.H. Sahal Mahfud merupakan salah satu ulama NU
yang memiliki pemikiran tentang fiqh yang berkepribadian Indonesia atau lebih
dikenal dengan Fiqh Sosial. Kiai Sahal sangat kritis dan berupaya melakukan
rekonstruksi terhadap fiqh. Dalam pandangan Kiai Sahal, rumusan fiqh yang
dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan
sekarang. Situasi sosial, politik, dan budaya, sudah berbeda. Karena itu hukum
harus berputar sesuai ruang dan waktu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa K.H. Sahal Mahfudh?
2.
Bagaimana Pemikiran K.H. Sahal Mahfudh tentang Fiqh Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biograi Singkat K.H. Sahal Mahfudh
K.H. Sahal Mahfudz
nama lengkapnya adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfud bin Abd. Salam
Al-Hajaini, beliau lebih dikenal dengan panggilan Kiai Sahal. Lahir dari
pasangan KH Mahfud dan Hj. Badi’ah, pada tanggal 17 Desember 1937 di Desa
Kajen, kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati.[1]
Kiai Sahal mempunyai jalur nasab dengan K.H. Ahmad Mutamakin, salah seorang
perintis agama yang sangat terkenal di desa Kajen khususnya dan kabupaten pati
pada umumnya.
Memulai
pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah
(1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa
tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kiai Sahal muda nyantri ke Pesantren
Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun
1957-1960 dia belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai
Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kiai Sahal belajar ke Mekah di bawah
bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya
hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).[2]
Setelah ayahnya
meninggal, Kiai Sahal mengantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin Pondok
Pesantren Maslakul Huda (Selanjutnya disebut PMH) Desa Kajen, Kabupaten Pati. Sebagai
pemimpin pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional
di kalangan NU.[3]
Sikapnya yang menonjol mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan
masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan
kesehatan.
Dalam organisasi
Kiai Sahal pernah menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (1999-2014), dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti
2000-2010. Kiai Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI
pada Juni 2000 sampai tahun 2005. Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain
yang disandang kiai Sahal adalah sebagai Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU)
Jepara, Jawa Tengah (1989-2014).[4]
Kiai Sahal juga pernah dianugerahi
gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu
fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak hanya itu Kiai
Sahal juga pernah mendapatkan beberapa gelar kehormatan antara lain, Tokoh
Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha
Putra Utarna (2000), dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Berbicara tentang karya Kiai Sahal, pada bagian fiqh beliau menulis seperti
Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al-
Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang
berbentuk tulisan lainnya adalah:[5]
1.
Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul,
(Surabaya: Diantarna, 2000)
2.
Pesantren Mencari Makna, (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999)
3.
Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz
al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
4.
Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH.
MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
5.
Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS,
1994)
6.
Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama
KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus,
1987).
7.
Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960
(Nurussalam, t.t)
8.
Luma' al-Hikmah ila Musalsalat
al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
9.
Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat
Pesantren Maslakul Huda, Pati)
B.
Pemikiran Tentang
Fiqh Sosial
Secara bahasa,
Kata Fiqh merupakan bentuk masdar dari kata faqiha yang artiya sama dengan
al-‘ilmu (pengetahuan) dan al-fahmu (pemahaman), sehingga secara etimologi fiqh
diartikan sebagai pengetahuan atau pemahaman yang mendalam (benar) terhadap
sesuatu. Di kalangan fuqaha (ulama fiqh), fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang
rinci.[6]
Fiqh sosial secara
konseptual baik dalam arti umum maupun arti khusus tidak bisa dilepaskan dari
konsep fiqh yang telah dirumuskan oleh para ulama fiqh. Secara difinitif
pengertian fiqh dalam pandangan K.H. Sahal Mahfudh sebenarnya sama dengan
definisi fiqh menurut para ulama fiqh terdahulu. Fiqh menurut Kiai Sahal adalah
ilmu tentang hukum syariat yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan
disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci. Dalam dasar-dasar pembentukannya
meliputi al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.[7]
Fiqh adalah
refeksi dari syariat, secara konseptual dalam pandangan K.H. Sahal Mahfudh mempunyai
empat komponen pokok atau aspek sebagai penjabaran dari konsep syariah. Keempat
komponen tersebut di antaranya: (1) aspek ‘ibadah, hubungan manusia
dengan Allah, (2) aspek mu’amalah, merupakan hubungan transaksi untuk
memenuhi kebutuhan hidup, (3) aspek munakahah yang berarti hubungan dan
tata cara berkeluarga, (4) aspek jinayah, pergaulan yang menjamin
ketentraman dan keadilan.[8]
Kemudian dari
aspek-aspek tersebut, Kiai Sahal menguraikan dalam kerangka rumusan konsep fiqh
sosial. Munurutnya syariat Islam pada dasarnya mengatur hubungan antara manusia
sebagai makhluknya dengan Allah sebagai khalik-Nya. Aturan ini dalam tinjauan
fiqh sosial menjadi komponen Fiqh Ibadah.[9]
Kiai Sahal secara
konseptual tidak memberikan definisi yang khusus tentang fiqh sosial. Akan
tetapi fiqh sosial diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk
kemudian mengambil tindakan atau sikap tertentu atas realitas tersebut.
Sehingga fiqh dapat berfungsi ganda sebagai social control dan sebagai social
engineering. [10]
Persoalan-persoalan
yang terjadi di masyarakat mengundang perhatian Kiai Sahal untuk mencarikan
jalan keluar pemecahannya dengan sudut pandang agama (fiqh). Di antara
beberapa persoalan yang di bahas dalam tema pemikiran fiqh sosial meliputi
masalah sosial, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, wanita dan
lingkungan.
1.
Sosial
Dalam masalah kependudukan, misalnya
masalah tingginya laju pertumbuhan penduduk, persebaran yang tidak merata,
stuktur umur penduduk yang relatif muda dalam perkawinan, kerawanan sosial,
ketimpangan pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, kemiskinan
struktural dan lain-lain. Menurut Kiai Sahal kependudukan menjadi masalah
karena adanya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan
manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi.[11]
Kemudian terkait masalah kemiskinan
menurut Kiai Sahal harus melalui kerja terencana, terprogram, sistematis dan
berkelanjutan. Lahirnya kemiskinan adalah adanya sebab akibat, oleh karena itu
penyebab kemiskinan harus ditutup. Menurutnya Masyarakat miskin perlu diberikan
motivasi dan bimbingan dengan melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan
ekonomi supaya msyarakat dapat berkerja.
2.
Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, menurut Kiai
Sahal pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak cukup dengan uluran dana ansich.
Akan tetapi dibutuhkan adanya sebuah team work yang kuat, solid,
teroganisir dan profesional. Di samping itu perlu adanya suatu upaya pecerahan
pemikiran, wawasan, keterbukaan sikap dan kematangan bertindak sehingga tujuan
dapat tercapai sesuai dengat target dan dapat berjalan secara konsisten.
3.
Lingkungan
Menurut Kiai Sahal, upaya penyelamatan
terhadap lingkungan dan alam sekitar yang diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan,
pemanfaatan, pelestarian, penjagaan serta pencegahan dari segala bentuk ancaman
pengrusakan, penjarahan dan lain sebagainyamerupakan manifestasi sikap syukur
kepada Allah SWT. Sebaliknya segala bentuk sikap kejahatan terhadap lingkungan
dan alam sekitarnya merupakan salah satu bentuk sikap tidak bersyukur
kepada-Nya.[12]
4.
Wanita
Dalam merespon isu emansipasi wanita,
Kiai Sahal menekankan akan pentingnya keseimbangan mengenai peran, fungsi dan
kedudukan wanita. Menurutnya wanita dalam kedudukan dan perannya sebagai istri,
wanita tidak hanya sekedar sebagai pasangan hidup saja. Namun sebagai
pendamping tempat membagi suka dan duka, tempat bermusyawarah dalam memecahkan
berbagai masalah rumit yang dihadapi serta memberi spirit untuk suami.
Kedudukan wanita sebagai seorang ibu
rumah tangga, wanita memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia mendidik anak-anak sebagai kader generasi masa depan bangsa. Oleh
kerena itu seorang ibu harus menjadi orang yang mengerti, berwawasan luas,
berkualitas dan berwawasan tinggi.[13]
5.
Pendidikan
Dalam bidang pendidikan misalnya
melalui lembaga pendidikan pesantren, Kiai Sahal menginginkan bahwa pesantren
tidak hanya sebagai tempat mengkaji agama (kitab kuning), melainkan sebagai
tempat pemberdayaan sosial, budaya dan ekonomi kerakyatan. Salah satu bentuk
pendidikan pesantren yang original adalah pendidkan agama dan berbaikan moral.
Pesantren harus menjadikan dirinya sebagai lembaga yang terbuka atas setiap
persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat baik sosial maupun ekonomi.
Pesantren diharapkan mampu menjadi dinamisator dan katalisator pembangunan
masyarakat dalam semua aspek kehidupan.[14]
6.
Politik
Dalam pandangan Kiai Sahal, Islam dan
politik mempunyai titik singgug yang sangat erat. Menurut Kiai Sahal Islam
memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja,
melainkan memalui kulturisasi politik secara luar, meliputi serangkaian yang
menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [15]
Dalam menghadapi persoalan kebangsaan
perlu ditanamkan sikap dan kesadaran pluralisme yang tinggi. Pelaksanaan
keadilan dan kesejahtraan merupakan suatu keharusan bagi pemerintah dengan
tidak perlu berlabel Islam. Sebab realitas bangsa menunjukan adanya pluralitas
dari berbagai macam jenis etnis dan agama. Sikap ini memerlukan kesadaran
tinggi dari kalangan politisi Islam untuk dapat
menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer
dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Menurut ulama fiqh (fuqaha) fiqh
didefinisikan sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang
diambil dari dalil-dalilnya yang rinci. Dalam pandangan Kiai Sahal, rumusan
fiqh yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab
persoalan sekarang. Situasi sosial, politik, dan budaya, sudah berbeda. Karena
itu hukum harus berputar sesuai ruang dan waktu.
Persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat mengundang perhatian Kiai Sahal untuk mencarikan jalan keluar
pemecahannya dengan sudut pandang agama (fiqh). Di antara beberapa persoalan
yang di bahas dalam tema pemikiran fiqh sosial meliputi masalah sosial,
politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, wanita dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sanusi AH, Mengenang Perjuangan Syeh KH.
Mutamakin dari masa ke masa, cet. ke-5 (Pati: Himpunan Siswa Matholiul
Falah, 1413 H)
http://www.islam-institute.com/kh-ma-sahal-mahfudz-ulama-komprehensif-dari-pati.html diunduh 25 November 2014
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi
dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012)
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial,
(Yogyakarta: LKIS, 2012)
Hyromini Rhiti, Kompleksitas Permasalahan
Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005)
Jamal Ma'mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi (Surabaya: Khalista, 2007)
M. Fahrur
Rozi, Zakat dan Pendayagunaannya: Studi atas pemikiran KH. Sahal Mahfudh,
Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm.48
Doni Esvandi, http://www.tribunnews.com-rais-aam-pbnu-kiai-sahal-mahfudz-meninggal-dunia, Diunduh pada 24 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar