Sabtu, 10 Januari 2015


K.H. SAHAL MAHFUDZ DAN PEMIKIRANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam memiliki dua dasar hukum yang sangat penting yaitu al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi dua dasar hukum tersebut perlu adanya penafsiran dan pemahaman lagi untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Dasar hukum yang ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits adalah Fiqh. Fiqh merupakan derivasi pratikal dari ajaran al-Qur’an dan Hadits, adalah landasan normatif dalam berprilaku, baik individu maupun masyarakat.
K.H. Sahal Mahfud merupakan salah satu ulama NU yang memiliki pemikiran tentang fiqh yang berkepribadian Indonesia atau lebih dikenal dengan Fiqh Sosial. Kiai Sahal sangat kritis dan berupaya melakukan rekonstruksi terhadap fiqh. Dalam pandangan Kiai Sahal, rumusan fiqh yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan sekarang. Situasi sosial, politik, dan budaya, sudah berbeda. Karena itu hukum harus berputar sesuai ruang dan waktu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa K.H. Sahal Mahfudh?
2.      Bagaimana Pemikiran K.H. Sahal Mahfudh tentang Fiqh Sosial?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biograi Singkat K.H. Sahal Mahfudh
K.H. Sahal Mahfudz nama lengkapnya adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfud bin Abd. Salam Al-Hajaini, beliau lebih dikenal dengan panggilan Kiai Sahal. Lahir dari pasangan KH Mahfud dan Hj. Badi’ah, pada tanggal 17 Desember 1937 di Desa Kajen, kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati.[1] Kiai Sahal mempunyai jalur nasab dengan K.H. Ahmad Mutamakin, salah seorang perintis agama yang sangat terkenal di desa Kajen khususnya dan kabupaten pati pada umumnya.
Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kiai Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kiai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).[2]
Setelah ayahnya meninggal, Kiai Sahal mengantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda (Selanjutnya disebut PMH) Desa Kajen, Kabupaten Pati. Sebagai pemimpin pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU.[3] Sikapnya yang menonjol mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
Dalam organisasi Kiai Sahal pernah menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2014), dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Kiai Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005. Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang disandang kiai Sahal adalah sebagai Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara, Jawa Tengah (1989-2014).[4]
Kiai Sahal juga pernah dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak hanya itu Kiai Sahal juga pernah mendapatkan beberapa gelar kehormatan antara lain, Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000), dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Berbicara tentang karya Kiai Sahal, pada bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:[5]
1.         Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
2.         Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
3.         Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
4.         Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
5.         Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
6.         Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
7.         Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
8.         Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
9.         Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)

B.    Pemikiran Tentang Fiqh Sosial
Secara bahasa, Kata Fiqh merupakan bentuk masdar dari kata faqiha yang artiya sama dengan al-‘ilmu (pengetahuan) dan al-fahmu (pemahaman), sehingga secara etimologi fiqh diartikan sebagai pengetahuan atau pemahaman yang mendalam (benar) terhadap sesuatu. Di kalangan fuqaha (ulama fiqh), fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci.[6]
Fiqh sosial secara konseptual baik dalam arti umum maupun arti khusus tidak bisa dilepaskan dari konsep fiqh yang telah dirumuskan oleh para ulama fiqh. Secara difinitif pengertian fiqh dalam pandangan K.H. Sahal Mahfudh sebenarnya sama dengan definisi fiqh menurut para ulama fiqh terdahulu. Fiqh menurut Kiai Sahal adalah ilmu tentang hukum syariat yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci. Dalam dasar-dasar pembentukannya meliputi al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.[7]
Fiqh adalah refeksi dari syariat, secara konseptual dalam pandangan K.H. Sahal Mahfudh mempunyai empat komponen pokok atau aspek sebagai penjabaran dari konsep syariah. Keempat komponen tersebut di antaranya: (1) aspek ‘ibadah, hubungan manusia dengan Allah, (2) aspek mu’amalah, merupakan hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, (3) aspek munakahah yang berarti hubungan dan tata cara berkeluarga, (4) aspek jinayah, pergaulan yang menjamin ketentraman dan keadilan.[8]
Kemudian dari aspek-aspek tersebut, Kiai Sahal menguraikan dalam kerangka rumusan konsep fiqh sosial. Munurutnya syariat Islam pada dasarnya mengatur hubungan antara manusia sebagai makhluknya dengan Allah sebagai khalik-Nya. Aturan ini dalam tinjauan fiqh sosial menjadi komponen Fiqh Ibadah.[9]
Kiai Sahal secara konseptual tidak memberikan definisi yang khusus tentang fiqh sosial. Akan tetapi fiqh sosial diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk kemudian mengambil tindakan atau sikap tertentu atas realitas tersebut. Sehingga fiqh dapat berfungsi ganda sebagai social control dan sebagai social engineering. [10]
Persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat mengundang perhatian Kiai Sahal untuk mencarikan jalan keluar pemecahannya dengan sudut pandang agama (fiqh). Di antara beberapa persoalan yang di bahas dalam tema pemikiran fiqh sosial meliputi masalah sosial, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, wanita dan lingkungan.
1.      Sosial
Dalam masalah kependudukan, misalnya masalah tingginya laju pertumbuhan penduduk, persebaran yang tidak merata, stuktur umur penduduk yang relatif muda dalam perkawinan, kerawanan sosial, ketimpangan pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, kemiskinan struktural dan lain-lain. Menurut Kiai Sahal kependudukan menjadi masalah karena adanya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi.[11]
Kemudian terkait masalah kemiskinan menurut Kiai Sahal harus melalui kerja terencana, terprogram, sistematis dan berkelanjutan. Lahirnya kemiskinan adalah adanya sebab akibat, oleh karena itu penyebab kemiskinan harus ditutup. Menurutnya Masyarakat miskin perlu diberikan motivasi dan bimbingan dengan melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan ekonomi supaya msyarakat dapat berkerja.
2.      Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, menurut Kiai Sahal pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak cukup dengan uluran dana ansich. Akan tetapi dibutuhkan adanya sebuah team work yang kuat, solid, teroganisir dan profesional. Di samping itu perlu adanya suatu upaya pecerahan pemikiran, wawasan, keterbukaan sikap dan kematangan bertindak sehingga tujuan dapat tercapai sesuai dengat target dan dapat berjalan secara konsisten.
3.      Lingkungan
Menurut Kiai Sahal, upaya penyelamatan terhadap lingkungan dan alam sekitar yang diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan, pemanfaatan, pelestarian, penjagaan serta pencegahan dari segala bentuk ancaman pengrusakan, penjarahan dan lain sebagainyamerupakan manifestasi sikap syukur kepada Allah SWT. Sebaliknya segala bentuk sikap kejahatan terhadap lingkungan dan alam sekitarnya merupakan salah satu bentuk sikap tidak bersyukur kepada-Nya.[12]
4.      Wanita
Dalam merespon isu emansipasi wanita, Kiai Sahal menekankan akan pentingnya keseimbangan mengenai peran, fungsi dan kedudukan wanita. Menurutnya wanita dalam kedudukan dan perannya sebagai istri, wanita tidak hanya sekedar sebagai pasangan hidup saja. Namun sebagai pendamping tempat membagi suka dan duka, tempat bermusyawarah dalam memecahkan berbagai masalah rumit yang dihadapi serta memberi spirit untuk suami.
Kedudukan wanita sebagai seorang ibu rumah tangga, wanita memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan keluarga yang bahagia mendidik anak-anak sebagai kader generasi masa depan bangsa. Oleh kerena itu seorang ibu harus menjadi orang yang mengerti, berwawasan luas, berkualitas dan berwawasan tinggi.[13]
5.      Pendidikan
Dalam bidang pendidikan misalnya melalui lembaga pendidikan pesantren, Kiai Sahal menginginkan bahwa pesantren tidak hanya sebagai tempat mengkaji agama (kitab kuning), melainkan sebagai tempat pemberdayaan sosial, budaya dan ekonomi kerakyatan. Salah satu bentuk pendidikan pesantren yang original adalah pendidkan agama dan berbaikan moral. Pesantren harus menjadikan dirinya sebagai lembaga yang terbuka atas setiap persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat baik sosial maupun ekonomi. Pesantren diharapkan mampu menjadi dinamisator dan katalisator pembangunan masyarakat dalam semua aspek kehidupan.[14]
6.       Politik
Dalam pandangan Kiai Sahal, Islam dan politik mempunyai titik singgug yang sangat erat. Menurut Kiai Sahal Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, melainkan memalui kulturisasi politik secara luar, meliputi serangkaian yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [15]
Dalam menghadapi persoalan kebangsaan perlu ditanamkan sikap dan kesadaran pluralisme yang tinggi. Pelaksanaan keadilan dan kesejahtraan merupakan suatu keharusan bagi pemerintah dengan tidak perlu berlabel Islam. Sebab realitas bangsa menunjukan adanya pluralitas dari berbagai macam jenis etnis dan agama. Sikap ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam untuk dapat  menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam.[16]

BAB III
KESIMPULAN
Menurut ulama fiqh (fuqaha) fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci. Dalam pandangan Kiai Sahal, rumusan fiqh yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan sekarang. Situasi sosial, politik, dan budaya, sudah berbeda. Karena itu hukum harus berputar sesuai ruang dan waktu.
Persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat mengundang perhatian Kiai Sahal untuk mencarikan jalan keluar pemecahannya dengan sudut pandang agama (fiqh). Di antara beberapa persoalan yang di bahas dalam tema pemikiran fiqh sosial meliputi masalah sosial, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, wanita dan lingkungan.










DAFTAR PUSTAKA
M. Sanusi AH, Mengenang Perjuangan Syeh KH. Mutamakin dari masa ke masa, cet. ke-5 (Pati: Himpunan Siswa Matholiul Falah, 1413 H)
http://www.islam-institute.com/kh-ma-sahal-mahfudz-ulama-komprehensif-dari-pati.html diunduh 25 November 2014
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012)
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2012)
Hyromini Rhiti, Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005)
Jamal Ma'mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi (Surabaya: Khalista, 2007)
M. Fahrur Rozi, Zakat dan Pendayagunaannya: Studi atas pemikiran KH. Sahal Mahfudh, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm.48
Doni Esvandi, http://www.tribunnews.com-rais-aam-pbnu-kiai-sahal-mahfudz-meninggal-dunia,  Diunduh pada 24 Maret 2014




                [1] M. Sanusi AH, Mengenang Perjuangan Syeh KH. Mutamakin dari masa ke masa, cet. ke-5 (Pati: Himpunan Siswa Matholiul Falah, 1413 H), hlm.27
                [2] http://www.islam-institute.com/kh-ma-sahal-mahfudz-ulama-komprehensif-dari-pati.html diunduh 25 November 2014
                [3] M. Fahrur Rozi, Zakat dan Pendayagunaannya: Studi atas pemikiran KH. Sahal Mahfudh, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm.48
                [4] Doni Esvandi, http://www.tribunnews.com-rais-aam-pbnu-kiai-sahal-mahfudz-meninggal-dunia,  Diunduh pada 24 Maret 2014
                [5] http://www.islam-institute.com/kh-ma-sahal-mahfudz-ulama-komprehensif-dari-pati.html diunduh 23 Desember 2013
                [6] Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm.15
                [7] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm.28
                [8] Ibid., hlm.5
                [9] Ibid., hlm.6
                [10] Ibid., hlm.xxi
                [11] Ibid., hlm.7-9
                [12] Hyromini Rhiti, Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005), hlm.26
                [13] Jamal Ma'mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi (Surabaya: Khalista, 2007), hlm.50
                [14] Ibid., hlm.60-65
                [15] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh, hlm.204-205
                [16] Ibid., hlm.171-180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar